Masjid Kampus Mardliyyah Islamic Center (MIC) UGM baru saja menggelar Kajian Spesial Nishfu Sya’ban pada Jumat (13/2/25), sebuah momentum penting dalam kalender Islam. Kajian yang diselenggarakan secara luring dan daring ini menghadirkan Ust. Achmad Fathurrohman Rustandi, Lc., M.A., untuk mengupas tuntas keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban tersebut.
Dalam pemaparannya, Ustadz Achmad , menjelaskan bahwa “Nishfu” secara bahasa berarti separuh atau pertengahan. Dalam konteks bulan Sya’ban, Nishfu Sya’ban merujuk pada tanggal 15 Sya’ban, yang mana keistimewaannya dimulai sejak menjelang Maghrib pada tanggal 14 Sya’ban. Beliau mengutip riwayat dari Sayyidah Aisyah RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban dibandingkan bulan-bulan lainnya selain Ramadhan. Hal ini mengindikasikan adanya keistimewaan yang besar di bulan ini, terutama pada malam Nishfu Sya’ban.
Lebih lanjut, Ust. Achmad menyampaikan beberapa hadis yang menyoroti keutamaan malam ini. Beliau mengutip hadis Hasan Al-Bashri yang menjelaskan bahwa Allah SWT. pasti akan mengampuni hamba-Nya yang memohon ampunan pada malam Nishfu Sya’ban. Selain itu, segala doa yang dipanjatkan pada malam tersebut akan dikabulkan oleh Allah SWT., kecuali doa dari orang yang berzina dan orang yang musyrik atau menyekutukan Allah SWT. Mengingat manusia memiliki banyak hajat dan keinginan, malam Nishfu Sya’ban menjadi peluang emas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan menyampaikan permohonan dengan sungguh-sungguh.
Beliau juga mengutip hadis lain yang menjelaskan bahwa pada malam pertengahan bulan Sya’ban, Allah SWT. melimpahkan rahmat dan kebaikan-Nya kepada seluruh makhluk di alam semesta. Allah SWT. mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali dua golongan: orang yang musyrik dan orang yang gemar membuat onar atau menyebarkan kebencian. Hadis ini dianggap shahih dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban.
Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, Ust. Achmad mencontohkan bagaimana para ulama di abad ke-3 Hijriah menggambarkan malam Nishfu Sya’ban. Beliau mengutip Imam Al-Fakihi yang merekam bagaimana penduduk Makkah pada masa itu berbondong-bondong menuju Masjidil Haram pada malam Nishfu Sya’ban. Laki-laki dan perempuan dengan penuh khusyuk melaksanakan shalat berjamaah dan thawaf. Mereka menghidupkan malam tersebut hingga Subuh dengan membaca Al-Qur’an hingga khatam. Sebagian dari mereka bahkan melaksanakan shalat 100 rakaat dengan membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Ikhlas sebanyak 100 kali di setiap rakaatnya. Mereka juga mengambil air zam-zam pada malam itu dan mengusapkannya ke tubuh mereka, bahkan membawanya pulang untuk orang-orang yang sakit dengan harapan mendapatkan keberkahan di malam yang istimewa ini.
Lebih lanjut, dalam Kitab Siyar A’lam an-Nubala, Imam Adz-Dzahabi juga mencatat bagaimana orang-orang di zamannya melaksanakan shalat berjamaah dan membaca Al-Qur’an, bahkan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari Jumat. Hal ini berbeda dengan bulan Ramadhan, di mana banyak orang berusaha mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari. Mereka juga beri’tikaf di masjid-masjid, memperbanyak amalan sunnah, dan berdzikir. Masyarakat pada tahun 250 Hijriah tersebut menghidupkan malam Nishfu Sya’ban serta malam kedua Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dengan shalat dan membaca tasbih.
Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Khitabul Al-Umm, juga menjelaskan bahwa doa pasti dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jumat, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama di bulan Rajab, dan malam pertengahan bulan Sya’ban. Dalil ini diriwayatkan dari Imam Ibrahim bin Muhammad, yang menyaksikan bagaimana para tokoh dan penduduk Madinah hadir di Masjid Nabawi pada kelima malam tersebut untuk berdoa dan berdzikir kepada Allah SWT. hingga larut malam, bahkan menjelang Subuh.
Berbagai hadis dan catatan sejarah ini menegaskan betapa istimewanya malam Nishfu Sya’ban, sebuah malam yang sayang untuk dilewatkan begitu saja oleh umat Muslim.
Di akhir kajian, Ust. Achmad menekankan bahwa keutamaan malam Nishfu Sya’ban hendaknya dimaknai sebagai malam yang penuh berkah, sehingga kita dianjurkan untuk mengisinya dengan berbagai amalan dan doa. Beliau menyinggung amalan membaca Surah Yasin sebanyak tiga kali yang seringkali disarankan. Meskipun tidak ada tuntunan spesifik mengenai amalan tersebut, beliau menjelaskan bahwa tindakan ulama terdahulu yang bahkan mengkhatamkan Al-Qur’an pada malam itu dapat dianalogikan dengan memperbanyak membaca surah-surah dalam Al-Qur’an, termasuk Surah Yasin. Selama tidak ada dalil yang secara khusus melarangnya dan didasari oleh niat yang baik, maka amalan tersebut diperbolehkan. Oleh karena itu, malam yang hanya terjadi sekali dalam setahun ini hendaknya kita manfaatkan sebaik mungkin sebagai momentum untuk memohon ampunan Allah SWT. dan meminta dikabulkan segala hajat yang kita miliki. (Callysta Inas/ Pelatihan Tim Redaksi RBM 1446 H)