
Ramadhan Berkah Mardliyyah kembali mengadakan Ceramah Tarawih pada Senin malam (10/3/2025). Ceramah tarawih kali ini mengundang Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., dengan membawakan tema “Islam, Demokrasi, dan Hukum di Indonesia”.
Memulai ceramah, Zainal menjelaskan perbedaan antara kedaulatan dan kekuasaan. “Kekuasaan itu adalah sesuatu yang dipegang dan dijalankan sedangkan kedaulatan itu adalah pemilik sesungguhnya dari hal tersebut. Demokrasi dan Islam secara kedaulatan dia berada dalam dua yang berbeda, demokrasi ranah kedaulatannya adalah rakyat, kalau Islam kedaulatannya di Allah.
“Penguasa dalam konteks demokrasi enggak ada yang bisa menjamin kapasitasnya, enggak ada yang bisa menjamin integritasnya. Enggak ada proses demokrasi yang bisa menjamin itu,” ungkap Zainal.
“Dalam Pilpres seringkali lahir dari industri politik atau sering disebut dengan Second Hand reality. Second Hand reality itu artinya apa-apa polesan,” jelas Zainal tentang demokrasi terjadi saat ini.
Kemudian Zainal membahas tentang autocratic legalism yaitu pembuatan aturan untuk membenarkan ketidakadilannya. “Jangan lagi dipandang ketidakadilan itu hanya sekedar tidak adil. Ada aturan hukumnya lalu dia langgar. Seringkali dia ciptakan aturan hukum untuk membenarkan ketidakadilan itu.”
Zainal berpendapat bahwa Islam dan demokrasi adalah dua hal yang tidak terlalu penting untuk dipertentangkan karena esensi demokrasi sangat mungkin untuk bisa dekat dengan Islam.
“Seringkali ajaran islam itu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh umat Islam dan itu yang membuat Islam seringkali seakan-akan menjadi buruk dimata orang,” tambah Zainal.
Mengutip riset yang dilakukan oleh Saiful mujani, Ada korelasi demokrasi yang tidak bisa terlalu sesuai dengan Islam. “Biasanya agama dalam konteks riset dia itu tidak terlalu ramah dengan demokrasi.”
Riset lain mengatakan bahwa di Eropa yang memperlihatkan bahwa agama yang paling dekat dengan demokrasi adalah Protestan. Riset-riset berikutnya yang mengatakan Islam sebenarnya tidak terlalu dekat dengan demokrasi, “bisa jadi lahir dari perilaku orang-orang yang mengaku beragama Islam dan itu yang membuatnya distingsi yaitu yang membuatnya terjadi perbedaan.”
Zainal menegaskan bahwa yang harus diperjuangkan adalah demokrasi dan Islam yang dijalankan secara substantif yaitu demokrasi didekatkan pada ajaran Islam. Kemudian Zainal mengajak kita untuk Mari bermuhasabah sendiri, berperilaku yang baik, menghormati, berlaku adil.
“Merumuskan konsep dan kondisi di mana kepemimpinan yang ada itu akan mencerminkan perilaku yang Islami yaitu yang dekat dengan nilai-nilai Islam,” jelas Zainal. (Maulida Wulandari: Tim Redaksi RBM 1446 H)