Harusnya Kita Sadar Diri: Merenungi Makna Istirja’ dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Masjid Mardliyyah

Masjid Mardliyyah Islamic Center kembali menghadirkan kajian tafsir Al-Qur’an rutin yang kali ini mengangkat tema mendalam: “Harusnya Kita Sadar Diri”. Ustadz yang menyampaikan materi merujuk pada kitab monumental Sajaratul Ma’arif (Pohon Pengetahuan) karya ulama besar Izzuddin ibn Abdussalam. Salah satu poin penting yang dibahas adalah konsep istirja’ (mengucapkan innalillahi wa innalillahi raji’un) yang tertuang dalam firman Allah SWT. di surat Al-Baqarah ayat 156.

Lebih lanjut, Ustadz mengawali dengan mengutip Q.S Al-Baqarah ayat 152:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Yang অর্থnya, “Maka ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku).” Ayat ini mengandung dua perintah esensial bagi manusia: mengingat eksistensi Allah SWT. dan mensyukuri segala nikmat yang telah Dia anugerahkan.

Ustadz mengingatkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mudah melupakan, bahkan kebaikan sesama pun tak jarang terluput dari ingatan. Padahal, Rasulullah SAW. yang telah dijamin surga oleh malaikat, tetap menunjukkan rasa syukur yang mendalam dengan terus meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Beliau menekankan pentingnya menampakkan kebaikan kepada orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita. Bersyukur bukanlah semata-mata kewajiban, melainkan juga kebutuhan kita. Syukur memiliki kekuatan untuk “mengundang” hal-hal baik yang belum terjadi dan berfungsi sebagai penawar bagi ambisi yang berlebihan, sehingga menciptakan keseimbangan dalam hidup. Bahkan, tindakan tidak menyakiti atau merugikan orang lain termasuk dalam kategori dzikir (mengingat) kepada Allah SWT.

Kajian kemudian beralih pada potongan ayat selanjutnya yang secara implisit membahas tentang istirja’. Ustadz menjelaskan bahwa ketika kita lalai bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT., hal tersebut dapat dianggap sebagai sebuah musibah. Meskipun bersyukur terasa lebih sulit daripada kufur, Allah SWT. Maha Berkehendak, dan seyogyanya manusia menyerahkan segala urusannya kepada-Nya.

Mengutip penjelasan dari Ibnu Al Qayyim, Ustadz menyampaikan bahwa hakikatnya, segala sesuatu yang kita miliki adalah milik Allah SWT., dan kenikmatan yang kita rasakan saat ini hanyalah pinjaman yang dapat diambil kembali sewaktu-waktu. Kehidupan di dunia ini diibaratkan sebagai safar, sebuah perjalanan dari kelahiran hingga kembali kepada Allah SWT., Sang Pencipta.

Islam mengajarkan sebuah kesadaran mendasar bahwa kematian adalah momen kembalinya manusia kepada Tuhannya. Oleh karena itu, setiap individu hendaknya mempersiapkan diri untuk kembali dalam keadaan yang pantas, sebagaimana dilahirkan dalam keadaan suci. Inilah esensi dari istirja’, sebuah pengingat untuk kembali kepada-Nya dalam kondisi terbaik. Setiap perilaku manusia akan tercatat dan tidak akan pernah hilang. Sebagai contoh, ketika kita bertemu dengan orang lain dengan wajah yang ceria, demikian pula diharapkan kondisi kita saat kembali kepada-Nya.

Allah SWT. melimpahkan shalawat berupa ampunan dan rahmat kasih sayang-Nya. Sebagai hamba, kita dianjurkan untuk senantiasa berdoa memohon rahmat tersebut. Para nabi pun mengajarkan pentingnya rahmat melalui doa yang terabadikan dalam Al-Qur’an:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Yang অর্থnya, “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Al-A’raf: 23)

Ustadz memberikan contoh sederhana tentang rahmat Allah SWT. yang seringkali kita lupakan, seperti nikmat hidup hingga detik ini, kesehatan, dan kemampuan merasakan nikmatnya makanan. Inilah makna istirja’ yang seharusnya melahirkan kesadaran untuk selalu bersyukur kepada Allah SWT. atas segala yang kita terima dari-Nya.

Kesadaran bahwa kita adalah milik Allah SWT. dan segala yang kita nikmati hanyalah pinjaman akan berimplikasi positif bagi diri kita. Semakin kita menyadari hal ini dan mensyukurinya, Allah SWT. akan mengangkat derajat dan memuliakan kita, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah ayat 157:

أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Yang অর্থnya, “Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam konteks relasi spiritual, kemudahan akses menuju Tuhan adalah sebuah fasilitas yang luar biasa dan kemewahan yang patut disyukuri. Sebaliknya, orang-orang yang tertolak aksesnya untuk menghadap Tuhan termasuk dalam penderitaan dan kesengsaraan.

Kajian ini memberikan pencerahan yang mendalam tentang pentingnya kesadaran diri, terutama dalam mengingat Allah SWT. dan mensyukuri segala nikmat-Nya. Konsep istirja’ bukan hanya sekadar ucapan saat musibah, tetapi juga pengingat untuk senantiasa kembali kepada Allah SWT. dalam keadaan yang sebaik-baiknya, dengan hati yang penuh syukur dan kesadaran akan ketergantungan kita kepada-Nya. (Nailah Attarafishah Suryanto: Peserta Seleksi Tim Redaksi RBM 1446 H)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top