Masjid Kampus Mardliyyah Islamic Center (MIC) UGM telah melaksanakan Ngaji Kitab Tafsir Marah Labid pada Jum’at (10/1/25) yang diselenggarakan secara luring di tempat sekaligus daring melalui siaran langsung di Youtube. Pada Kajian ini Ust. Rafiq, M. Ag., Ph. D. membahas tafsir Surah Al-Qadr. Surah Al-Qadr adalah surat pertama yang diturunkan di Madinah dengan jumlah 5 ayat, 30 kalimat, serta berjumlah 121 huruf.
innâ anzalnâhu fî lailatil-qadr. (Q.S Al-Qadr [97]: 1)
“Sesungguhnya kami (Allah) menurunkannya (Alquran) pada malam Qadr”.
Dijelaskan bahwa turunnya dimaksudkan sebagai sekali turun. “Sak gepok lengkap mulai dari Al-Fatihah sampai An-Nas,” tambah Beliau. Al-Qur’an diturunkan pada Lailatulqadar dari Lauh Mahfudz bersama dengan catatan para malaikat ke Baitul Izzah. Baru kemudian Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur oleh Malaikat Jibril dalam 23 tahun sesuai dengan keadaan dan hajat kepada malaikat Jibril. Ustadz Ahmad menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam aqidah Islam, penjelasan tersebut menekankan bahwa Al-Quran sudah turun sejumlah wahidah dari Lauhulmahfuz yang kemudian baru turun ke dunia secara berangsur-angsur, “artinya walaupun 23 tahun turunnya tidak berurutan, tetapi dalam aqidah Islam diyakini bahwa susunan/urutan Al-Quran sudah ada di Lauhulmahfuz lalu turun ke langit dunia seperti susunan yang telah kita ketahui bersama.”
Dalam sejarah Islam, setiap bulan Ramadhan kecuali Ramadhan yang terakhir (dimaksudkan justru kedatangannya tidak hanya 1 kali melainkan 2 kali) malaikat Jibril akan datang mengecek hafalan nabi selama setahun sesuai urutan yang telah disampaikan. “Tradisi ini yang sampai sekarang kita kenali dengan tradisi sima’an,” imbuh beliau. Tradisi sima’an berisi aktivitas membaca, menyimak, dan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci dalam Al-Qur’an yang biasanya dilakukan oleh para santri dan santriwati di Indonesia.
Surah Al-Qadr menegaskan bahwa, Allah Swt. tidak bergantung kepada manusia atau dapat diartikan bahwa Al-Qur’an tetap turun ke langit dunia entah ada atau tidaknya peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya ayat tersebut (asbabunnuzul). Jadi, sebenarnya peristiwa tersebut adalah bagian yang ditakdirkan Allah Swt. sebagai sebab turunnya ayat dimana ayat tersebut sudah ditakdirkan dari Lauhulmahfuz.
Sifat dasar bahasa al-Quran adalah mubham, istilah ini dapat diartikan sebagai bahasa yang ambigu atau tidak spesifik menyebut sesuatu. “Musuh-musuh Engkau,” ini adalah salah satu contoh dimana sebenarnya nyata adanya peristiwa dan orangnya namun tidak disebutkan secara eksplisit. Maka adanya berbagai peristiwa itu telah digariskan oleh Allah Swt. untuk membantu umatnya memahami apa yang dimaksudkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan bahasa yang mubham tersebut.
Beliau menjelaskan kembali tafsiran dalam kitab tersebut jika Al-Qadr maknanya adalah takdir atau ketentuan. Al-Qadr itu akhirnya menamai malam yang mulia sebagai Lailatulqadar karena Allah pada malam itu mengatur atau membuat ketentuan apa-apa yang dikehendaki dari segala perkaranya juga untuk tahun yang akan datang. Perkara-perkara yang ditentukan diantaranya adalah kematian, ajal, rezeki, dan hal-hal lainnya. Pada malam tersebut juga Allah Swt. memberikan kuasa kepada makhuk-makhluk yang mengatur masing-masing perkara yakni terdapat 4 malaikat: Israfil, Mikail, Izrail, dan Jibril. Keempat malaikat ini ditugaskan secara khusus untuk mengatur urusan manusia.
Ditemukan perbedaan pendapat mengenai kapan sebenarnya malam yang disebut Lailatul Qadar dimana pendapat yang sampai sekarang dipercaya adalah malam ke-27 bulan Ramadhan karena terdapat beberapa petunjuk meski seringkali dinilai lemah.
Lailatul Qadar pada malam ke-27 Ramadhan sebagaimana yang telah disepakati bersama adalah malam yang mulia dimana umat Islam dianjurkan untuk menguatkan ibadah pada malam tersebut. Kitab tersebut juga menjelaskan bahwa siapapun bisa mendapatkan kemuliaan ini, sekalipun itu masih anak-anak.
Dalam kajian ini ditekankan kembali keistimewaan angka tujuh, seperti 7 lapisan langit, 7 lapisan bumi, 7 hari dalam seminggu bahkan anggota tubuh yang sujud juga 7. Anggota sujud tersebut diantaranya kedua kaki, kedua lutut, kedua telapak tangan, dan jidat. Dalam kesempatan ini, beliau menyematkan perdebatan yang dulu pernah terjadi di masa covid-19 mengenai boleh atau tidaknya sholat mengenakan masker. Beliau menjelaskan jika itu tidak masalah karena hidung tidak termasuk 7 anggota tubuh sujud yang tadi disebutkan.
Jumlah-jumlah tersebut menjadi petunjuk bahwa malam yang dimaksudkan sebagai Lailatulqadar adalah malam ke-27. Petunjuk ini lemah namun dinilai keutamaannya angka 7, walaupun bukan malam ke-7 atau 17. Kesimpulan penentuan malam ke-27 diambil karena Ibnu Abbas mengatakan bahwa diantara petunjuk itu surat ini terdiri dari 30 kalimat dimana terdapat 9 huruf dan Al-Qadr disebut 3x dalam ayat (Surah Al-Qadr) sehingga berjumlah 27.
Di luar perdebatan tersebut, malam Lailatul Qadar hendaknya dimaknai sebagai malam yang sangat mulia dalam bulan Ramadhan. Malam yang hanya terjadi sekali dalam setahun itu perlu dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam untuk menggiatkan ibadah dan amalan baiknya. Sehingga demikian, umat Islam dapat meraih keutamaan dan keberkahan yang ada pada malam tersebut. (Callysta Inas/ Pelatihan Tim Redaksi RBM 1446 H)