Pada Jum’at 17 Januari 2025, Mardliyah Islamic Center (MIC) UGM kembali melanjutkan pembahasan tentang tafsir surat Al-Qadr berdasarkan kitab Tafsir Marah’ Labid. Kajian ini merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya mengenai keistimewaan malam Lailatul Qadar. Kajian ini disampaikan oleh seorang dosen pascasarjana dari UIN Sunan Kalijaga, ustadz Ahmad Rafiq, M.Ag., Ph.D.
Pada kajian ini, Rafiq melanjutkan pembahasan tafsir QS Al-Qadr. Ia menjelaskan bahwa keutamaan malam lailatul Qadar tidak terbatas, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa Allah SWT memberikan penjelasan tentang hal tersebut, yang dibagi menjadi tiga bentuk yaitu: pertama, malam Lailatul Qadar merupakan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Kata “khair” dalam QS Al-Qadr ayat 4 menunjukkan bahwa satu malam pada malam Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan. Dalam kitab Marah Labid, Imam Nawawi menjelaskan bahwa seribu bulan setara dengan delapan puluh tiga tahun lebih empat bulan.
Kedua, ibadah yang dilakukan pada malam Lailatul Qadar lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama seribu bulan yang didalamnya tidak terdapat malam Lailatul Qadar. Imam Nawawi juga memberikan contoh dalam kitabnya bahwa orang yang beribadah pada malam Lailatul Qadar lebih baik daripada Bani Israil yang mengangkat senjata (berjihad) selama seribu bulan. Ketiga, orang yang beramal pada malam Lailatul Qadar memiliki kekuasaan yang lebih besar dari kekuasaan kerajaan Nabi Sulaiman as. dan kerajaan Dzulqarnain, karena masa kekuasaan kedua kerajaan tersebut adalah seribu bulan.
Hasan bin Ali ra. berkata bahwa Rasulullah saw bermimpi melihat Bani Umayyah menginjak-injak mimbar Rasulullah saw. Maksudnya adalah bahwa Rasulullah saw dan keturunan beliau tidak dihormati lagi pada masa kekuasaan Daulah Umayyah., kemudian Allah menurunkan surat Al-Qadr untuk menghibur beliau. Dalam surat tersebut Allah SWT menerangkan bahwa Lailatul Qadar yang diberikan lebih baik daripada kekuasaan dunia (daulah) selama seribu bulan.
Kemudian terdapat beberapa keterangan yang menjelaskan bahwa satu amalan pada malam Lailatul Qadar memiliki nilai yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sudut pandang baik dan buruknya. Rafiq memberikan contoh sederhana seperti minum dapat memiliki rasa atau nilai yang berbeda jika dalam keadaan yang berbeda pula. Sebagai contoh bagi orang yang sedang kehausan, satu teguk minuman itu dapat memberikan kesegaran yang luar biasa, sedangkan satu teguk minuman bagi orang yang berpuasa dapat menjadikan sebab batalnya puasa tersebut.
Rafiq kemudian juga memberikan contoh lain bahwa menyebut orang lain berzina dapat dihukumi dengan beragam sesuai dengan keadaannya. Menyebut orang lain berzina dengan keadaan bahwa orang tersebut benar-benar melakukannya itu diperbolehkan, tetapi lain halnya jika seseorang menyebut orang Nasrani berzina padahal orang tersebut tidak mengetahui kebenaran dari tuduhan tersebut maka akan dihukumi Qazm maka orang tersebut akan diberikan ta’zir (hukuman). Kemudian, jika tuduhan berzina diberikan kepada Aisyah ra. maka akan dihubungi kufur karena hal itu berarti tidak percaya terhadap Allah SWT telah menjelaskannya dalam QaulNya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amalan pada malam Lailatul Qadar dapat memiliki nilai yang berbeda bahkan, amalan kecil pun dapat memiliki nilai yang besar dilihat dari keadaannya. Begitupun sebaliknya dosa besar dapat disebabkan adanya akumulasi dari dosa-dosa kecil yang sering dilakukan, sehingga ketika melakukan dosa besar hatinya tidak merasa bersalah.
Selain itu, Rafiq juga berpesan untuk tidak menyepelekan dosa kecil maupun amalan kecil karena keduanya dapat memiliki nilai yang berbeda sesuai dengan keadaan dan sudut pandang yang digunakan. Amalan kecil dapat bernilai besar apabila Allah SWT meridhai orang tersebut. Maka dari itu, kita dianjurkan untuk ridha terhadap segala kehendak Allah agar Allah SWT juga meridhai kita. (Sayyidah Khalimatussakdiah/Pelatihan Tim Redaksi RBM 1446 H)