Makna Pakaian Islami: Lebih dari Sekadar Penutup Aurat

Ustadz Achmad Fathurrohman Rustandi, Lc., M.A.

Masjid Mardliyyah Islamic Center kembali menggelar kajian keilmuan yang bermanfaat pada Rabu, 9 Januari 2025. Kali ini, tema yang diangkat adalah “Pakaian Islami”, sebuah topik penting yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari umat Muslim. Ustadz Achmad Fathurrohman Rustandi, Lc., M.A., hadir sebagai narasumber, mengajak para jamaah untuk menyelami lebih dalam Kitab Ibanah Al-Ahkam dan mendiskusikan dinamika berpakaian dalam perspektif Islam.

Sebagaimana diketahui, pakaian memiliki fungsi ganda bagi manusia. Selain melindungi tubuh dari perubahan cuaca, bagi umat Islam, pakaian juga menjadi identitas dan sarana untuk menunaikan perintah agama, yaitu menutup aurat dan menjaga kehormatan diri. Islam memiliki panduan yang jelas mengenai batasan-batasan berpakaian yang wajib dipatuhi oleh setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam pemaparannya, Ustadz Achmad menjelaskan batasan aurat secara umum. Bagi laki-laki, aurat adalah area tubuh antara pusar hingga lutut. Sementara itu, bagi perempuan, mayoritas ulama bersepakat bahwa seluruh tubuh adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Namun, beliau juga menyampaikan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait status wajah dan telapak tangan. Sebagian ulama berpandangan bahwa keduanya bukan termasuk aurat, sementara sebagian lainnya meyakini bahwa seluruh tubuh perempuan, termasuk wajah dan telapak tangan, wajib ditutupi.

Lebih lanjut, Ustadz Achmad menerangkan bahwa esensi menutup aurat tidak hanya terbatas pada batasan fisik. Pakaian yang dikenakan juga harus memenuhi kriteria tidak transparan sehingga kulit tidak terlihat, dan tidak terlalu ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuh. Selain itu, terdapat larangan bagi laki-laki untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian perempuan, dan sebaliknya. Beliau juga menekankan pentingnya menghindari pakaian yang menyerupai simbol atau atribut agama atau budaya lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Secara khusus, Ustadz Achmad menyoroti aturan berpakaian bagi laki-laki yang melarang penggunaan sutra dan emas. Larangan ini berlaku untuk segala jenis pemakaian, baik yang dikenakan langsung di tubuh maupun untuk alas tidur, selimut, dan sebagainya. Dasar dari larangan ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda:

…لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ…

“Sungguh akan ada di antara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutra…”

Sutra dan emas diharamkan bagi laki-laki karena dianggap sebagai representasi kemewahan dan kesombongan yang tidak dianjurkan dalam Islam. Sebaliknya, bagi perempuan, penggunaan sutra dan emas diperbolehkan sebagai bentuk perhiasan dan ekspresi keindahan. Meskipun penelitian ilmiah modern menemukan potensi manfaat sutra bagi kesehatan, hukum asal dalam Islam tetap mengharamkannya bagi laki-laki, kecuali dalam kondisi darurat yang mendesak untuk pengobatan dan tidak ada alternatif lain.

Ustadz Achmad kemudian mengaitkan aturan berpakaian dengan ibadah shalat. Beliau menjelaskan bahwa menutup aurat merupakan salah satu syarat sah shalat. Jika aurat terbuka, baik disengaja maupun tidak, maka shalat dapat menjadi batal. Beliau memberikan contoh kasus seperti perempuan yang shalat dengan mukena terlalu pendek hingga kakinya terlihat, atau laki-laki yang celananya terlalu pendek sehingga auratnya terbuka. Selain itu, beliau mengingatkan pentingnya anggota sujud seperti kening, telapak tangan, lutut, dan telapak kaki untuk menempel sempurna di tempat sujud. Jika ada penghalang, seperti kening yang tertutup cadar atau peci, maka sujud dianggap tidak sah.

Lebih jauh, Ustadz Achmad menekankan larangan dalam Islam untuk berpakaian dengan tujuan kesombongan atau pamer. Beliau mengutip peringatan Rasulullah SAW tentang sifat sombong yang sangat dibenci oleh Allah SWT., hingga diturunkannya ayat pertama dalam Surah At-Takasur:

اَلۡهٰٮكُمُ التَّكَاثُرُۙ‏

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”

Oleh karena itu, meskipun seseorang mengenakan pakaian dengan merek terkenal atau harga yang mahal, jika motivasinya adalah untuk pamer atau menunjukkan status, tindakan tersebut tidak dibenarkan dalam Islam. Beliau menjelaskan bahwa pakaian bermerek itu sendiri tidak otomatis haram, selama tidak digunakan sebagai alat untuk kesombongan. Islam mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam segala hal, termasuk dalam berpakaian.

Sebagai penutup, Ustadz Achmad menyimpulkan bahwa pakaian Islami bukan sekadar persoalan model atau tren, melainkan lebih menekankan pada fungsi dan tujuannya yang mulia. Tujuan utama berpakaian dalam Islam adalah untuk menutup aurat, menjaga kehormatan diri, dan menjauhkan diri dari sifat angkuh. Dengan memahami dan mengamalkan aturan-aturan ini, umat Islam diharapkan dapat berpenampilan sesuai dengan syariat sekaligus menginternalisasi nilai-nilai keislaman dalam setiap aspek kehidupan. (Monica Nasywa Rasendriya R.: Pelatihan Tim Redaksi RBM 1446 H)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top