Mirip tetapi Tak Sama, Begini Tradisi Khas Ramadhan di Arab Saudi

Dr. Abdul Aziz Ahmad, M. A.

Pada Sabtu (8/3/2025), Ramadhan Berkah Mardliyyah 1446 H telah melaksanakan Kalam Sahur ke-4 yang diisi oleh Dr. Abdul Aziz Ahmad, M. A. selaku Duta Besar LBBP RI untuk Arab Saudi. Kalam Sahur sebagai acara untuk mengenai tradisi dan budaya dari berbagai negara di dunia, kali ini menyoroti bagaimana keunikan-keunikan yang terjadi Arab Saudi ketika bulan Ramadhan tiba.

Arab Saudi yang juga seperti Indonesia dimana penduduk mayoritasnya muslim, tentu memiliki banyak kesamaan dalam semangatnya menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita. Dr. Abdul menjelaskan sesinya ke dalam dua perspektif, yakni perspektif agama dan perspektif sosial.

Pertama, melalui perspektif agama, Arab Saudi dinilai sangat khusyuk dalam menjalankan ibadahnya di bulan ini. Beliau menjelaskan terdapat salah satu kebiasaan yang mencolok dimana mereka menghidupkan malam untuk beribadah. Mungkin hal ini terdengar biasa karena sudah lumrah terjadi di Indonesia. Namun, mereka tidak hanya melakukan di masjid dan rumah tapi juga melakukan ibadah lainnya seperti silaturahmi di cafe dan restoran yang dilakukan setelah menyelesaikan ibadah tarawih.

Siang harinya, masyarakat Arab Saudi cenderung mengisi waktunya dengan istirahat yang ditujukan untuk mempersiapkan diri ketika malam tiba. Pemerintah Arab Saudi juga mendukung hal ini dengan menetapkan kebijakan waktu kerja yang fleksibel, yaitu pukul 10.00 sampai 15.00 dengan disesuaikan lagi dengan tempat kerja masing-masing.

Kebijakan tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Dalam rangka memberi keluasaan waktu saat berbuka, pemerintah menetapkan waktu sholat isya mundur sekitar 60 menit dari waktu yang sebenarnya ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat. Berbicara soal shalat, jumlah rakaat untuk shalat tarawih di sana berbeda-beda juga seperti di Indonesia.

Shalat tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi berjumlah 20 rakaat ditambah 3 rakaat shalat witir, adapun di masjid-masjid lain berjumlah 8 atau 10 rakaat ditambah dengan 3 rakaat shalat witir. Walaupun jumlah rakaat sedikit, surah-surah yang dibaca cukup panjang yakni sekitar 1 sampai 1,5 juz dari Al-Qur’an. Ini diharapkan pada malam ke-25 Ramadhan, masyarakat sudah mengkhatamkan Al-Qur’an.

Dr. Abdul juga menjelaskan bahwa ibadah yang dilakukan semakin intensif di 10 malam terakhir Ramadhan, “Shalat witir biasanya dilakukan lebih larut yaitu pada sepertiga malam terakhir. Jadi tidak lagi dilakukan setelah tarawih, jadi tidak langsung setelah tarawih lalu witir, tapi menunggu sampai nanti larut malam sampai menjelang pagi itu (baru) dilakukan shalat witir.”

Dr. Abdul juga menjelaskan bagaimana sebagian masjid lokal cenderung mengalami penurunan jumlah jamaah menjelang akhir Ramadhan. Ini dapat dikatikan dengan keinginan masyarakat Arab Saudi untuk cenderung beribadah di rumahnya masing-masing. Ketika Ramadhan berakhir, perayaan saat hari raya Idul Fitri agak berbeda daripada di Indonesia karena di Arab Saudi, Idul Adha lebih dirayakan daripada Idul Fitri. Sesudah shalat eid, biasanya masyarakat hanya makan bersama dengan keluarga kecilnya, atau malamnya mendatangi orang-orang yang dianggap sebagai pimpinan.

Kemudian Dr. Abdul melanjutkan sesinya dengan menjelaskan budaya Arab Saudi dari perspektif sosial. Beliau menjelaskan bahwa terdapat satu tradisi yang sangat mencolok yaitu sahur dan buka puasa bersama, “Kami warga kedutaan besar RI sering diajak untuk sahur bersama baik oleh beberapa kedutaan negara aahabat maupun oleh masyarakat yang sudah mengenal kedutaan besar RI.”

Hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Namun, kebiasaan makan di Arab Saudi memiliki ciri khasnya sendiri.

“Kalau sempat menikmati berbuka bersama di Masjid Nabawi, kita akan disuguhkan kepada pemandangan yang sangat menarik. Ada sejumlah orang yang mendatangi kita untuk datang, untuk diajak ke tempat dimana dia ditugaskan untuk menyediakan makanan berbuka,” imbuh beliau. Ini berarti aspek kepedulian terhadap sesama dijunjung tinggi dimana mereka saling mengarahkan menuju kebaikan.

Adapun berbagai restoran di Arab Saudi yang juga menyediakan paket untuk berbuka dimana ini bermanfaat untuk masyarakat yang ingin mendonasikan takjil bagi orang-orang disekitarnya. Tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, masyarakat Arab Saudi juga antusias berbelanja kebutuhan Ramadhan. Namun, harga-harga disana relatif terkendali karena diatur secara ketat oleh pemerintah agar harga-harga tidak melonjak di saat bulan Ramadhan.

Dr. Abdul memberikan kesimpulannya di akhir dimana meskipun terdapat beberapa perbedaan dengan muslim di Indonesia, semangat menyambut Ramadhan di antara masyarakatnya tetaplah sama. Sambutan penuh suka cita, mengisi dengan ibadah, serta menjalin silaturhami menjadi nilai-niali yang masih hidup di tengah masyarakat Arab Saudi.

Dengan mengetahui kekhasan yang dimiliki negara lain saat Ramadhan, ini dapat menjadikan kita untuk saling menghargai dan tetap menjunjung nilai-nilai positif di tengah masyarakat yang ada. (Callysta Inas: Tim Redaksi RBM 1446 H)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top