Ngaji Kitab Tafsir Marah Labid Juz 30: Surah Al-‘Asr

Ust. Ahmad Rafiq, M. Ag., Ph. D.

Masjid Kampus Mardliyyah Islamic Center (MIC) UGM telah melaksanakan ngaji kitab tafsir pada Jumat, 18 Oktober 2024 lalu yang diselenggarakan secara luring di tempat sekaligus daring melalui live streaming di Youtube. Pada kajian tafsir ini, MIC mengundang Ust. Ahmad Rafiq, M. Ag., Ph. D. selaku Ketua Program Studi Doktor Pengkajian Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai pembicaranya. Surah yang dibahas dalam kitab tafsir Marah Labid ini adalah salah satu surah dalam Juz 30, yaitu Surah Al-‘Asr.

Ust. Ahmad Rafiq memulai kajian ini dengan menjelaskan ayat pertama dari Surah Al-‘Asr, وَالْعَصْرِ (wal-‘ashr) yang berarti “demi waktu”. Waktu yang disebutkan di sini artinya waktu di dalam rentang tertentu yang mana jika dihubungkan dengan manusia dapat bermakna dari orang lahir sampai dia meninggal. Kitab tafsir tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt. bersumpah dengan menggunakan waktu ini tadi, yang mana waktu mengandung banyak sekali hal-hal yang menakjubkan. Dalam rentang waktu tersebut bisa ada kesenangan ataupun kesulitan.

“Jadi, kita bisa menandai banyak hal di dalam kehidupan kita itu karena hitungan waktu, karena ada waktu itu. Berkat waktu itu orang bisa bilang itu sukses, bisa bilang gagal,” tegas beliau dalam kajian tersebut. Beliau juga mengumpamakannya dengan film-film yang membahas time traveler untuk menjelaskan waktu itu menyimpan keajaiban, atau bagaimana orang menemukan banyak hal dari waktu.

Kemudian, kitab tafsir tersebut juga menjelaskan bagaimana Allah Swt. bersumpah dengan waktu ashar sebagaimana Allah Swt. bersumpah dengan waktu dhuha. Jadi, waktu ashar diibaratkan seperti waktu kematian dan waktu dhuha seperti waktu kebangkitan manusia dari alam kubur untuk dimintai pertanggungjawaban. Hal ini dapat disimpulkan sebagai gambaran rentang waktu yang dimiliki manusia di mana setiap orang yang menjalani kehidupan pasti ada waktunya kematian, kemudian ada waktunya untuk hidup lagi setelah kematian (alam kubur). Beliau menegaskan kembali kedua makna الْعَصْرِ (al-‘ashr) yang dapat diartikan sebagai waktu di mana semua kejadian terjadi di waktu itu dan juga sebagai waktu akhir dari kehidupan orang mati yang kemudian dibangkitkan kembali.

Selanjutnya, beliau menjelaskan makna ketiga masih dalam ayat yang sama yang kali ini diibaratkan sebagai waktu orang berdagang di pasar, “وَالْعَصْرِ (wal-‘ashr) menandakan bahwa sebentar lagi tokonya tutup, kau sudah harus mulai berhitung, kau untung atau tidak sebagaimana sebentar lagi waktumu habis, kau harus hitung apakah kau sudah mendapatkan keuntungan atau tidak dalam hidupmu”.

Tidak sampai di situ saja, makna lain ayat pertama Surah Al-‘Asr dalam kitab tafsir tersebut menyoroti pentingnya salat Asar karena merupakan salat yang utama dan mulia. Ust. Ahmad Rafiq menegaskan bahwa orang yang meninggalkan salat Asar artinya pada waktu asar dia lupa kepada Allah Swt., yang mana ini menggambarkan jika sepanjang hidup amalnya baik tetapi ketika di ujung dia beramal ahli neraka maka bisa menjadi masuk neraka. “Berhati-hatilah di setiap waktu agar pada saat kapan pun ajal itu tiba kita tidak sedang dalam keadaan maksiat kepada Allah Swt.,” tambah beliau.

Kemudian, kajian dilanjutkan dengan penjelasan kitab tafsir pada ayat selanjutnya, إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (innal-insāna lafī khusr) yang berarti sesungguhnya manusia sungguh dalam kerugian yang macam-macam. Mereka dalam kehidupannya merugi atau habisnya amal ketika ajalnya tiba. Ayat selanjutnya, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ (illallażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāt) dengan arti “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh”. Dijelaskan bahwa kedua-duanya harus beriringan, jika salah satunya tiada dia tetap merugi. Selanjutnya وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ (wa tawāṣau bil-ḥaqqi) yang artinya “Dan saling mewasiatkan dengan kebaikan”.

Ust. Ahmad Rafiq menjelaskan bagaimana iman, amal saleh, dan menasihati dengan kebenaran dengan catatan saling menasihati, “kita menasihati orang dalam kebaikan, dan kita juga menerima nasihat orang lain tentang kebaikan. Terakhir, وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (wa tawāṣau biṣ-ṣabr), yang menjelaskan tidak hanya bersabar kepada diri sendiri tetapi juga bersabar kepada orang lain. Beliau menjelaskan bahwa menyampaikan dan mendengar kebenaran itu juga butuh kesabaran: Saling mengajak dalam kesabaran saat mengerjakan kewajiban-kewajiban dari Allah Swt.; kesabaran dalam menasihati orang menjauhi maksiat juga bersabar dengan diri sendiri untuk menahan maksiat; dan sabar dalam kesulitan-kesulitan hidup. (Callysta Inas Maritza: Peserta Seleksi Tim Redaksi RBM 1446 H)

Leave a Comment

Your email address will not be published.