Pada Senin sore (24/3/25), Mardliyyah Islamic Center menghadirkan Ustadzah Tika Faizah, M.Psi., seorang psikolog islam dalam kajian iftar yang diselenggarakan oleh Ramadhan Berkah Mardliyyah (RBM)1445 H. Kajian iftar kali ini membahas tema “Menjadi Gen Z yang Pandai Mengelola Pikiran dan Emosi.”
Ustadzah Tika membuka sesinya dengan penekanan bahwa, “emosi adalah sesuatu yang akan menempel pada diri manusia sampai akhir hayat.” Beliau menjelaskan bahwa pemicu emosi tidak hanya terbatas pada peristiwa nyata, melainkan juga dapat berasal dari pemikiran tertentu.
Emosi dapat terhubung dengan objek tak bernyawa, “mendapatkan kenang-kenangan dari seseorang yang berharga. Kemudian orang itu Allah panggil, sehingga benda yang sebelumnya ditinggalkan itu menimbulkan emosi,” sebut Ustadzah Tika.
Ustadzah Tika menyoroti adanya penyempitan makna emosi di era modern ini. “Pada zaman sekarang ini, emosi mengalami penyempitan makna. Kesannya emosi ini hanya tentang amarah saja.”
“Padahal, kenyataannya emosi melibatkan beberapa perasaan. Perasaan yang tertampil dari diri manusia biasanya disebut dengan ‘the wheel of emotion.’ Di dalam the wheel of emotion, perasaan dibagi menjadi beberapa bagian. Untuk bagian tengah itu disebut sebagai primary emotion ‘emosi utama’. Jadi kalau mendengar kata emosi, itu tidak selalu terpikirkan bahwa emosi adalah ledakan ledakan amarah atau yang memiliki konotasi negatif,” jelas Ustadzah Tika.
Kunci utama dalam mengelola emosi terletak pada kemampuan untuk mengenalinya. “Rasa kecewa tadi tidak teridentifikasi dengan baik sebelumnya. Kunci regulasi emosi itu berawal dari bagaimana mengenali emosi awal yang ditunjukkan atau dirasakan.”
Ketidakmampuan dalam mengidentifikasi emosi dapat berujung pada perilaku menyakiti diri sendiri atau orang lain. “Ketika manusia belum bisa mengidentifikasi emosi itu sendiri, maka akan muncul sifat harming atau menyakiti. Terdapat dua macam harming, yakni self harm dan harming others.”
Oleh karena itu, Ustadzah Tika menjelaskan bahwa “jika berbicara tentang regulasi emosi itu bukan tentang bagaimana caranya memperbaiki emosi itu. Tapi bagaimana bisa meng ‘identify’ emosi yang dirasakan pertama kali saat hal itu muncul.”
Beliau menyoroti peran penting pengalaman masa kecil dalam membentuk kemampuan ini. “Terkadang diri sendiri tidak dapat melakukan identifikasi emosi itu diakibatkan oleh masa kecil yang tidak terbiasa membicarakan emosi yang dirasakan. Ketika seorang anak tidak terbiasa mengidentifikasi emosi, maka saat dewasa dia tidak akan memiliki empati terhadap sekitar. Namun, jika terbiasa melakukan validasi emosi, suatu saat dia akan memiliki empati yang besar terhadap orang lain.”
Lebih lanjut, Ustadzah Tika memaparkan, “peran utama dalam komunikasi ini dibagi menjadi 5 yakni, pertama tidak ada komunikasi dalam keluarga atau pembicaraan sederhana dalam rumah yang bisa membangkitkan obrolan. yang kedua hanya mengobrolkan fakta, tapi tidak ada sesuatu yang membangun jiwa seseorang. ketiga, mengobrolkan fakta dan mulai memunculkan ide. keempat sudah mulai membahas menggunakan perasaan. Tidak semua keluarga membicarakan tentang perasaan. Kelima, bisa membicarakan dan menumpahkan semua yang dirasakan dan mendapatkan feedback positif. Feedback positif inilah yang menjadi pemicu seorang anak mau dan mampu bercerita tentang ketakutan atau apa yang dirasakan.”
Ustadzah Tika juga mengingatkan bahwa, “ketika berbicara tentang mental health itu tidak hanya soal hitam dan putih, tapi juga naik dan turun.” Beliau menekankan pentingnya pengelolaan emosi bagi semua gender.
Dalam ceramahnya, Ustadzah Tika juga menjabarkan Teori Aggression-Compassion Continuum. Teori ini menjelaskan spektrum perilaku manusia sebagai pengukur kejelasan emosi manusia dari agresif hingga belas kasih. “Pada level terendah, terdapat Continuum Aggression. Emosi ini muncul ketika seseorang sangat membenci sesuatu. Kalau level kebencian menurun, maka akan bernama ‘hostility’ hanya tidak suka dan mungkin akan memusuhi.Di sisi lain, pada level yang lebih tinggi terdapat emosi positif, yaitu compassion dimana seseorang merasa ingin membantu dan mendukung orang lain dalam menghadapi suatu masalah.” (Khairunnisa: Tim Redaksi RBM 1446 H)